Cari Blog Ini

Selasa, 05 November 2013

Askep Tonsilitis



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap manusia mempunyai sepasang kelenjar yang dinamakan tonsil yang terletak dibagian kiri dan kanan mulut (Oropharink) atau yang disebut kebanyakan orang awam sebagai pangkaal lidah. Tonsil berfungsi sebagai pertahanan terhadap virus dan bakteri yang masuk ke dalam saluran pernapasan, sehingga menjadikannya sebagai salah satu sistim pertahanan tubuh.
Namun kadang kala tonsil gagal dalam menjalankan fungsinya sehingga akibatnya tonsil mengalami radang atau inflamasi, bengkak yang sangat besar menyebabkan sulit dilalui oleh makanan bahkan sampai menganggu saluran pernapasan. Seperti yang di paparkan dr.Srinovianti Sp.THT (2004) tentang kegagalan fungsi dari tonsil menyebabkan terganggunya kesehatan.kondisi tonsil yang bengkak dengan ukuran yang sangat besar menyebabkan kesulitan dalam menelan makanan, menganggu proses pernapasan, belum lagi kondisi tonsillitis yang sangat parah menyebabkan peradangan pada rongga sinus.
Menurut dr. Srinovianti Sp.THT, 70% penderitanya adalah anak-anak, hal ini erat hubungannya dengan kebersihan tangan, anak-anak cenderung memasukkan makanan kedalam mulut dengan kondisi tangan kurang bersih. Dalam kondisi meradang pengobatan terbaik adalah dengan memberikan antibiotik, dan anjuran untuk makan dan minum yang meningkatkan daya tahan tubuh dibarengi dengan istirahat. Apabila keadaan ini berlangsung secara terus menerus maka pilihan yang paling tepat adalah dengan tindakan pembedahan yang  dikenal dengan Tonsilectomy untuk menghindari dampak dari peradangan tonsil ini menjadi lebih buruk.
Dr.Srinovianti Sp.THT, menjelaskan tindakan pencegahan yang utama terhadap tonsillitis adalah dengan menjaga kebersihan tangan pada anak-anak, memberikan istirahat yang cukup, dan asupan gizi yang baik sehingga daya tahan tubuh anak meningkat.

B.     Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan perioperatif II pada pasien Tonsilectomy dengan Anestesi Umum

C.    Tujuan Khusus
1.   Mampu melakukan pengkajian perioperatif II pada pasien Tonsilectomy dengan Anestesi Umum
2. Mampu menemukan masalah keperawatan perioperatif II pada pasien Tonsilectomy dengan Anestesi Umum
3.   Mampu merencanakan tindakan keperawatan perioperative II pada pasien Tonsilectomy dengan Anestesi Umum
4.   Mampu melaksanakan tindakan keperawatan perioperatif II pada pasien Tonsilectomy dengan Anestesi Umum
5.   Mampu mengevaluasi tindakan yang sudah dilakukan pada pasien Tonsilectomy dengan Anestesi Umum
6.   Mampu mengidentifikasi faktor-faktor pendukung, penghambat keperawatan perioperative II serta dapat mencari solusinya.
7.   Mampu mendokumentasikan semua kegiatan keperawatan perioperatif II dengan baik dan benar

D.    Waktu
Waktu pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan pada tanggal 5-6 April  2013

E.     Tempat Pelaksanaan
Tempat pelaksanaan asuhan keperawatan di ruang Instalasi Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Slamet Martodirjo Kabupaten Pamekasan

F.     Strategi Pelaksanaan
Asuhan keperawatan dilaksanakan pada saat Pre Operasi, Intra Operasi dan Post Operasi.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Definisi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.

B.     Anatomi Tonsil.
Anatomi Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.

C.    Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
·      Lateral– m. konstriktor faring superior
·      Anterior – m. palatoglosus
·      Posterior – m. palatofaringeus
·      Superior – palatum mole
·      Inferior – tonsil lingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan linfoid).

D.    Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.

E.     Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.

F.     Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.

G.    Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.

H.    Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

I.       Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.

J.      Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

K.    Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.

L.     Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.

M.   Indikasi Absolut (AAO)
1.      Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
2.      Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
3.      Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
4.      Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

N.    Indikasi Relatif (AAO)
1.      Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
2.      Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
3.      Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten

Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan pada keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga,nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan sebagai indikasi untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam nyawa.



O.    Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan  “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah :
1.       Gangguan perdarahan
2.       Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3.       Anemia
4.       Infeksi akut yang berat

P.     Persiapan operasi
1.    Penilaian Praoperasi
Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi pada seorang pasien terletak di tangan dokter ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorok atau dokter yang bertanggungjawab bila dalam keadaan tertentu tidak ada dokter spesialis THT.
Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum, maka kondisi kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk menyatakan kelayakannya menjalani operasi tersebut. Karena sebagian besar pasien yang menjalani tonsilektomi adalah anak-anak dan sisanya orang dewasa,  diperlukan keterlibatan dan kerjasama dokter umum, dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian preoperasi terhadap pasien.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa konsultasi kepada dokter spesialis anak maupun penyakit dalam hanya dilakukan untuk kondisi tertentu oleh dokter spesialis THT atau anestesi. Misalnya anak dengan malnutrisi, kelainan metabolik atau penyakit tertentu yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas selama dan pascaoperasi. Konsultasi ini dapat dilakukan baik oleh dokter spesialis THT maupun spesialis anestesi.
Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan dapat mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan meminimalkan pembatalan atau penundaan operasi (American Family Physician). Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis yang diperoleh dari anamsesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik. Penilaian laboratoris dan radiologik kadang dibutuhkan. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan baik di kalangan klinisi maupun institusi pelayanan kesehatan dalam memilih pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi tertentu.
Hal ini memiliki dampak pada keselamatan pasien selain meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pasien, pemerintah atau pihak ketiga.


Ø  Anamnesis dan Rekam Medik
Riwayat kesehatan, Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi, kelainan maksilofasial pada anak dan pada orang dewasa asma, kelainan paru, diabetes melitus, hipertensi, epilepsi, dll. AFP: riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran), imunisasi, infeksi terakhir terutama infeksi saluran napas khususnya pneumonia, Penyakit kronik terutama paru-paru dan jantung, kelainan anatomi, obat yang sedang dan pernah digunakan beserta dosisnya.Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi

v  Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum,Status gizi: malnutrisi,Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur pada jantung, tanda-tanda gagal jantung kongestif dan penyakit paru obstruktif menahun.Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk pasien dengan penyulit berupa kelainan anatomis, kelainan kongenital di daerah orofaring dan kelainan fungsional. Pada pasien ini, kelainan yang telah ada dapat menyulitkan proses operasi. Selain itu penting untuk mendokumentasikan semua temuan pemeriksaan fisik dalam rekam medik. 
a)         Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk tonsilektomi adalah sebagai berikut: Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit serta Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT. Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan atas indikasi.
b)         Informed consent
Informed consent perlu diberikan kepada pasien sehubungan dengan risiko dan komplikasi yang potensial akan dialami pasien.
c)         Persiapan praoperasi
Puasa harus dilakukan sebelum operasi dilakukan. Lama puasa dapat dilihat pada tabel 2, berdasarkan umur pasien.

Tabel 2. JANGKA WAKTU PUASA PERSIAPAN RUTIN PRABEDAH ELEKTIF
Usia
Jangka waktu puasa
Makanan padat
Cairan jernih
Anak
<6 bulan
4 jam
2 jam
6–36 bulan
6 jam
3 jam
>36 bulan
8 jam
3 jam
Dewasa
8 jam
3 jam


2.    Penilaian Praanestesia
Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation) merupakan proses evaluasi/penilaian klinis yang dilakukan sebelum melaksanakan pelayanan anestesi baik untuk prosedur bedah maupun nonbedah. Penilaian preanestesi ini merupakan tanggung jawab dokter ahli anestesia dan terdiri dari:
a)    Anamnesis dan Evaluasi rekam medik
Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat bermanfaat dalam mengetahui riwayat kesehatan dan penyakit yang pernah atau sedang diderita pasien. Terutama adanya infeksi saluran pernapasan atas yang dapat mengganggu manajemen anestesi. Sehingga dapat dilakukan pelayanan anestesi yang baik dan persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan komplikasi yang mungkin akan dihadapi dokter anestesi yang bersangkutan. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat kondisi-kondisi tertentu yang didapatkan dengan anamnesis disamping data dari rekam medik.
b)    Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas, test Malampatti untuk feasibility intubasi, evaluasi paru-paru, jantung dan catatan mengenai tanda vital pasien. Penilaian praanestesia dilakukan sebelum pelaksanaan operasi.
c)    Tes praoperasi
d)    Tes yang dilakukan sebelum operasi terdiri dari tes rutin dan tes yang dilakukan atas dasar indikasi tertentu.


Q.    Penyulit
Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam melakukan tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan dewasa:
1.    Kelainan anatomi:
§    Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)
§    Kelainan maksilofasial dan dentofasial
2.    Kelainan pada komponen darah:
§    Hemoglobin < 10 g/100 dl
§    Hematokrit < 30 g%
§    Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)
3.    Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain
4.    Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)
5.     Multiple Allergy
6.    Penyakit lain, seperti:
§     Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain
§     Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
§     Obesitas, kejang demam, epilepsi

R.    Teknik Anestesi
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi umum biasanya dilakukan untuk tonsilektomi pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan gelisah. Pilihan untuk menggunakan anestesi lokal bisa merupakan keputusan pasien yang tidak menginginkan tonsilektomi konvensional atau dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menjalani anestesi umum.
Biasanya ditujukan untuk tonsilektomi pada orang dewasa. Dimana sebelumnya pasien telah diseleksi kondisi kesehatannya terlebih dahulu dan mempertimbangkan tingkat keterampilan dokter bedah yang bersangkutan sehingga pasien dinilai dapat mentoleransi teknik anestesi ini dengan baik.

Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi dan adenoidektomi:
§  Melakukan induksi dengan lancar dan atraumatik
§  Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi
§  Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan atau obat-obatan yang dibutuhkan
§  Menyediakan rapid emergence.

1.      Premedikasi
Pemberian premedikasi ditentukan berdasarkan evaluasi preoperasi. Saat pemberian obat premedikasi dilakukan setelah pasien berada di bawah pengawasan dokter/perawat terlatih. Anak-anak dengan riwayat sleep apneu atau obstruksi saluran napas intermitten atau dengan tonsil yang sangat besar harus lebih diperhatikan.
2.      Anestesi Umum
Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi. Obat anestesia eter tidak boleh digunakan lagi jika pembedahan menggunakan kauter/diatermi. Teknik anestesi yang dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal, karena dengan ini saturasi oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dosis obat anestesi dapat dikontrol dengan mudah. Dokter ahli anestesi serta perawat anestesi walaupun berada di luar lapangan operasi namun masih memegang kendali jalan napas.
3.      Anestesi endotrakea
v  Pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang elektroda dada untuk monitor ECG (bila tidak ada, dapat menggunakan precordial stetoskop). Manset pengukur tekanan darah dipasang di lengan dan infus dextrose 5% atau larutan Ringer dipasang di tangan.
v  Jika sulit mencari akses vena pada anak kecil, induksi anestesi dilakukan dengan halotan. Karena halotan menyebabkan dilatasi pembuluh darah superfisial, infus menjadi lebih mudah dipasang setelah anak tidur.
v  Pada anak, induksi menggunakan sungkup dapat dilakukan dengan halotan atau sevoflurane dengan oksigen dan nitrous oxide. Kehadiran orangtua di ruang operasi selama induksi inhalasi bisa membantu menenangkan anak yang gelisah.
v  Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau dibantu dengan pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari masuknya darah ke dalam trakea, jika ETT tidak memiliki cuff, perlu diletakkan kasa bedah di daerah supraglotik tepat di atas pita suara dan sekitar endotrakeal tube.
v  Selama maintenance, pernapasan dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).
v  Antisialalogue (atropin) dapat diberikan untuk meminimalkan sekresi di lapangan operasi.
v  Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction), dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasang pharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup.
v  Ekstubasi dapat dilakukan  bila pasien sudah sadar, dimana jalan napas sudah terjagabebas (intact protective airway reflexes).32 Ekstubasi juga dapat dilakukan saat pasien masih dalam anestesi dalam. Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV bisa mengurangi risiko batuk dan laringospasme pada saat ekstubasi.
v  Pasien kemudian dibaringkan dengan dengan posisi lateral dengan kepala lebih rendah daripada panggul (tonsil position) sehingga memudahkan sisa-sisa darah mengumpul di sekitar pipi dan mudah dihisap keluar.
v  Kejadian mual dan muntah setelah tonsilektomi adalah sebesar 60% sehingga dapat diberikan antiemetik sebagai pencegahan.
v  Perdarahan pascatonsilektomi15 Pada perdarahan pasca tonsilektomi, lambung pasien bisa penuh berisi darah yang tertelan. Darah dalam lambung dapat memicu muntah secara spontan maupun pada waktu induksi anestesi untuk re-operasi. Pengosongan lambung dengan oro/nasogastric tube diperlukan sebelum anestesi.
v  Perkembangan baru adalah menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA) sebagai pengganti pipa endotrakeal. Keuntungan LMA dibanding ETT adalah berkurangnya risiko stridor postoperasi. Obstruksi saluran napas postoperasi juga lebih sedikit. Tetapi cara ini memerlukan perhatian khusus seperti :13Selama anestesi anak harus bernapas spontan (pemberian ventilasi tekanan positif akan meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung terutama bila tahanan jalan napas besar dan compliance paru rendah),Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran tonsil,LMA harus dilepaskan sebelum pasien sadar kembali, manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi harus ditimbang juga dengan risiko yang mungkin terjadi dan pengambilan keputusan harus berdasarkan pertimbangan per individu.
4.      Modifikasi Crowe-Davis mouth gag
Keberatan dokter ahli THT tentang penggunaan intubasi endotrakeal adalah  karena pipa ETT menyita lapangan operasi. Dengan modifikasi Crowe-Davis mouth gag ETT dapat diletakkan pada celah sepanjang permukaan bawah dari bilah lidah. Sehingga lapang operasi menjadi bebas.
S.      Pengamatan selama operasi
Selama operasi yang harus dipantau:
v  Jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik tidak mengganggu operasi
v  Pernapasan dan gerak dada cukup
v  Saturasi oksigen di atas 95%
v  Denyut nadi yang teratur
v  Jumlah perdarahan dan jumlah cairan infus yang masuk
v  Alat monitoring tambahan yang dianjurkan  :  Pulse oxymetri,  Pada pasien yang menjalani tonsilektomi untuk tatalaksana obstructive sleep apnea, ketersediaan monitoring postoperatif dan pulseoksimetri merupakan keharusan. Begitu juga dengan pasien dengan sindroma Down yang bisa mengalami depresi susunan saraf pusat untuk waktu yang lama setelah anestesi umum selama tonsilektomi berlangsung.

T.     Perawatan post operasi
Pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke makanan lunak merupakan standar di banyak senter. Cairan intravena diteruskan sampai pasien berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai intake oral. Kebanyakan pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dan bisa dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara adekuat, muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam keadaan stabil. Pengambilan keputusan untuk tetap mengobservasi pasien sering hanya berdasarkan pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang jelas dapat menunjang keputusan tersebut.
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan antibiotika. Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia yang berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri.

U.    Komplikasi
Tonsilektomi  merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.
1.      Komplikasi anestesi
Laringospasme,Gelisah pasca operasi,Mual muntah,Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi,Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan henti jantung. Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2.      Komplikasi bedah
a.       Perdarahan.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding, perdarahan primer atau “reactionary haemorrage”  dengan kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat jalan napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok. Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan yang keras.
b.      Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.  Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi. Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik “cold” diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.
c.       Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara,aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.


ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TONSILITIS DAN TONSILLECTOMY
1.      Pengkajian
Focus pengkajian menurut Firman S (2006) yaitu :
a.       Wawancara
v  Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsillitis)
v  Apakah pengobatan adekuat
v  Kapan gejala itu muncul
v  Apakah mempunyai kebiasaan merokok
v  Bagaimana pola makannya
v  Apakah rutin / rajin membersihkan mulut
b.      Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian (Doengoes, 1999)
v  Intergritas Ego
Gejala : Perasaan takut,khawatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan kerja, dan keuangan.
Tanda : ansietas, depresi, menolak.
v  Makanan / Cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak, inflamasi, kebersihan gigi buruk
v  Hygiene
Tanda : Kesulitan menelan
v  Nyeri / Keamanan
Tanda : gelisah, perilaku berhati-bati
Gejala : sakit tenggorokan kronis, penyebaran nyeri ke telinga
v  Pernapasan
Gejala : riwayat merokok / mengunyah tembakau, bekerja dengan serbuk kayu, debu.
c.       Hasil pemerisaan fisik secara umum di dapat :
v  Pembesaran tonsil dan hiperemis, letargi,kesulitan menelan,demam,nyeri tenggorokan,kebersihan mulut buruk
v  Pemeriksaan diagnostic
v  Pemeriksaan usap tenggorok
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum memberikan pengobatan, terutama bila keadaan memungkinkan. Dengan melakukan pemeriksaan ini kita dapat mengetahui kuman penyebab dan obat yang masih sensitif terhadapnya.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

2.      Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :

*      PRE OPERASI
1.      Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi
2.      Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.
3.      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4.      Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
5.      Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman

*      INTRA OPERASI
1.      Resiko gangguan keseimbangan cairan    hipovolemia dan hipervolemia berhubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah dampak obat anestesi
2.      Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neromusculer dampak sekunder obat pelumpuh otot pernafasan / obat general anestesi
3.      Hipotermi berhubungan dengan berada atau terpapar dilingkungan yang dingin.

*      POST OPERASI
1.      Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
2.      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
3.      Kurang pengetahuan tentang diet berhubungan dengan kurang informasi.


3 komentar:

  1. tonsilitis itu bisa disembuhkan tanpa operasi gak ya?

    BalasHapus
  2. Insya Allah bisa, dgn melakukan terapi. Selama kita berusaha pasti ada jalan keluarnya.. :)

    BalasHapus
  3. Silahkan kunjungi artikel yang lainnya :

    http://obatamandel.utamakansehat.com/
    http://obatparuparubasah.utamakansehat.com/
    http://obatflekparuparu.utamakansehat.com/
    http://obatgondok.utamakansehat.com/
    http://obattbc1.utamakansehat.com/
    http://obatgulabasah.utamakansehat.com/

    BalasHapus