MAKALAH
MATA KULIAH MIKROBIOLOGI
“
Trematoda Darah dan Jaringan ”
Disusun Oleh
:
(
Kelompok 4 )
Nur
Hesti Wulandari (12.032)
Nuri
Arini (12.033)
Nurul Laily Utami (12.034)
Royyan Hidayatullah (12.035)
Selly
Dwi Oktimerdhani (12.036)
Siti
Nurul Jannah (12.037)
Sitti
Musyarrofah (12.038)
Tutik Hadiyanti (12.039)
Vin Norrin Baity (12.040)
Yudhisira Wahyu Alamsyah (12.041)
Zainol
Hayat (12.042)
PEMERINTAH
KABUPATEN PAMEKASAN
AKADEMI
KEPERAWATAN
KATA PENGANTAR
Syukur
alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan penugasan makalah Mikrobiologi ini dengan
judul “ Trematoda Darah dan Jaringan ” sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Dalam
penyelesaian ini, kami banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, untuk itu dalam kesempatan ini kami tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat.
1. Ibu
Nurul Hidayati, S.Kep. selaku dosen
pengajar matakuliah Mikrobiologi yang dengan penuh perhatian dan kesabaran
telah memberikan dorongan, pengarahan, dan bimbingan beserta saran dari awal
sampai akhir penulisan makalah ini.
2. Kedua
orang tua kami, saudara kami serta semua anggota keluarga kami yang telah memberikan
dukungan moral, materi, dan spiritual selama menyelesaikan makalah ini.
Kami
berharap semoga makalah ini memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan
bagi kami sendiri pada khususnya. Semoga makalah ini dapat melancarkan kami
dalam penyusunan atau penugasan makalah selanjutnya. Dan kami menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki penyusun,
karena itu kami berharap saran dan kritik dari semua pihak yang sifatnya
membangun untuk kesempurnaan makalah
ini.
Pamekasan, 30 - Mei - 2013
Penyusun
Kelompok 4
Trematoda Darah dan Jaringan
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Trematoda atau cacing daun termasuk
dalam filum Platyhelminthesdan hidup
sebagai parasit. Banyak sekali macam hewan yang dapat berperan sebagai
hospes definitif bagi cacing trematoda ,sebut saja kucing,anjing, sapi ,babi,
tikus, burung, dan harimau. Tidak ketinggalan manusiapun merupakan hospes utama
bagi cacing trematoda. Trematoda menuruttempat hidupnya dibagi menjadi empat
yaitu trematoda hati, trematodaparu, trematoda usus, dan trematoda darah.
(FKUI, 1998).
Makalah ini akan membahas tentang
Trematoda darah dan jaringan (Trematoda paru dan trematoda hati). Pada
trematoda darah akan membahas tiga spesies pentingnya yaitu Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum dan Schistosoma haematobium. Paragonimuswestermani pada trematoda paru dan pada
trematoda hati akan membahas Clonorchis
sinensis, Opistorchis felineus, dan
Fasciola hepatica.(Onggowaluyo,
2001).
Secara umum cacing– cacing ini
mempunyai hospes definitif manusia. Cacing tersebut sebagian juga dapat
kita temukan di Indonesia seperti Schistosoma
japonicum, Paragonimus westermani dan Clonorchissinensis
(Onggowaluyo,2001). Oleh sebab itu diperlukan informasi yang jelas dan
tepat mengenai spesies dari cacing tersebut, habitatnya, gejalapenyakit,
pengobatan, pencegahan dan juga pengandaliannya, untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit yang dapat
timbul akibatcacing trematoda B.
2.
Tujuan
Tujuan penyusunan makalah berjudul “
Trematoda Parasit Darah dan Jaringan ” ini adalah :
1.
Untuk mengetahui klasifikasi Trematoda Darah dan
Jaringan
2.
Untuk mengetahui hospes dan nama penyakit yang
ditimbulkan oleh Trematoda Darah dan Jaringan
3.
Untuk mengetahui morfologi Trematoda Darah dan
Jaringan
4.
Untuk mengetahui distribusi geografik Trematoda Darah
dan Jaringan
5.
Untuk mengetahui siklus hidup Trematoda Darah dan
Jaringan
6.
Untuk mengetahui epidemiologi Trematoda Darah dan
Jaringan
7.
Untuk mengetahui patologi dan gejala klinis yang
ditimbulkan oleh Trematoda Darah dan Jaringan
8.
Untuk mengetahui diagnosis yang harus dilakukan dalam
penanganan Trematoda Darah dan Jaringan
9.
Untuk mengetahui cara pengobatan penyakit akibat
Trematoda Darah dan Jaringan
10.
Untuk mengetahui pencegahan yang harus dilakukan agar
tidak terjangkit penyakit yang disebabakan oleh Trematoda Darah dan Jaringan
BAB II
PEMBAHASAN
Trematoda darah
Trematoda darah memiliki perbedaan
dengan trematoda lainnya, diantaranya cacing dewasa tidak memiliki otot faring
serta memiliki kelamin terpisah (ada cacing jantan dan betina). Saluran
pencernaan setelah caecum bercabang dua, di sebelah distal, caecum bersatu
kembali dan buntu. Pada trematoda darah hanya memerlukan satu hospes perantara.
Telur tidak beroperkulum, menetas saat kontak dengan air. Serkaria ekornya
bercabang, masuk ke dalam tubuh hospes definitif dengan cara serkaria menembus
kulit. Perubahan yang terjadi pada hospes perantara miracidium menjadi
sporokista I dan sporokista II akhirnya menjadi serkaria.
Penamaan Schistosoma berasal
dari bentuk cacing jantan dewasanya, yang tampak pada tubuhnya
memiliki saluran genitalia memanjang berlekuk-lekuk, yang merupakan tempat
kontak dengan cacing betina pada saat kopulasi. Schistosoma terdiri atas
tiga spesies pathogen yang terutama menginfeksi manusia yaitu : Schistosoma
japonicum; habitatnya adalah pada vena mesentrika superior, Schistosoma
mansoni; habitatnya adalah pada vena mesentrika interior, Schistosoma
haematobium; habitatnya adalah pada vena mesentrika inferior, terutama pada
vena sebelum vesica urinaria.
Terdapat spesies pathogen lainnya
yang mirip Schistosoma japonicum yaitu Schistosoma. mekongi
yang merupakan cacing dengan penyebaran terbatas pada lembah sungai di
daerah Mekong dan Schistosoma intercalatum dengan telur mirip Schistosoma
haematobium tetapi secara klinis gejalanya seperti S.mansoni,
merupakan cacing endemis di daerah Afrika barat dan Afrika tengah. Siklus hidup
Schistosoma tidak memerlukan hospes perantara kedua untuk penularan
penyakitnya.
Schistosoma japonicum habitatnya
pada vena mesenterica superior. Schistosoma mansoni habitatnya pada vena
mesentrica inferior, sedangkan Schistosoma haematobium pada vena
mesentrica inferior, vena haemorrhoidalis, vena pudendalis dan sering terdapat
pada plexus vena vesicalis.
Secara umum penyakitnya disebut
schistosomiasis (Bilharziasis). Ada dua macam schistosomiasis , yaitu
schistosomiasis intestinalis yang disebabkan oleh Schistosoma mansoni dan
Schistosoma japonicum dan schistosomiasis vesikalis yang
disebabkan oleh Schistosoma haematobium.
Distribusi geografik bagi
schistosomiasis berlainan bagi trematoda darah, antar lain untuk Schistosoma
japonicum di daerah Formosa (hanya enzootic/terbatas pada binatang) daerah
lain di Timur Jauh yang bersifat endemik dan enzootic. Untuk Schistosoma
mansoni di daerah Mesir, Afrika barat, Puertorico, Venezuela dan Brazil.
Sedangkan untuk Schistosoma haematobium di daerah Mesir, Afrika
Barat, Maroko dan Portugal.
Schistosomiasis di Indonesia,
terdapat disekitar danau Lindu, Lembah Napu dan daerah Besoa (propinsi Sulawesi
Tengah) yang merupakan daerah penyebaran endemis di Indonesia. Penyakitnya
Schistosomiasis japonica dengan hospes perantara Oncomelania hupensis
lindoensis yang ditemukan oleh Davis dan Carney, 1973.
Siklus Hidup
Telur yang sudah matang diletakkan
dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan mukosa usus dan kandung
kencing (tergantung spesies cacing). Telur dapat menembus keluar dari pembuluh
darah, bermigrasi ke jaringan untuk kemudian sampai pada lumen usus dan kandung
kencing, akhirnya telur akan ditemukan dalam tinja atau urine. Telur segera
menetas dalam air dan keluar miracidium. Didalam tubuh keong, miracidium
berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II akhirnya menjadi serkaria.
Serkaria memiliki kemampuan menembus kulit, masuk ke dalam kapiler darah,
akhirnya sampai ke dalam vena kecil usus atau kandung kencing.
Siklus hidup
Schistosoma spp
Telur keluar bersama urne atau
faeces. Pada kondisi optimum ( berada dalam air ) telur menetas menjadi miracidia,
miracidia masuk ke dalam hospes perantara yaitu keong air tawar. Dalam tubuh
keong (moluska) miracidium berkembang dalam dua tahapan menjadi sporokista
sporokista berkembang menjadi serkaria. Ketika serkaria keluar dari tubuh
keong, serkaria infektif berenang bebas dan menginfeksi manusia dengan cara penetrasi
ke dalam melalui kulit, serkaria melepaskan ekornya dan menjadi schistosomulae.
Schistosomulae bermigrasi melewati beberapa jaringan dan menetap pada
habitatnya dalam vena mesentrica atau vena saluran kemih. Cacing dewasa
tinggal pada lokasi vena spesifik yang berbeda sesuai spesies S.
japonicum lebih sering ditemukan pada vena mesentrica superior pada usus halus
dan S. mansoni biasa terjadi ditemukan pada vena mesentrika superior
pada usus besar. S. haematobium biasa ditemukan pada vena flexus
vesicalis, tetapi dapat pula ditemukan pada vena sekitar retum.
a)
Schistosomiasis japonica
Etiologi
Schistosoma japonicum (Katsurada, 1904)
Penyebaran geografi
Cacing terbatas penyebarannya di daerah Timur Jauh,
Jepang, China, Taiwan, Philipina, Thailand. Fokus infeksi ditemukan oleh Brug
dan Tesch (1937) dipertegas oleh Faust dan Boone (1948) di daerah Palu,
Sulawesi Tengah (Indonesia).
Hospes definitif selain manusia juga anjing, kucing,
tikus, sapi, kerbau, babi, kuda, kambing dan biri-biri. Membutuhkan hospes
perantara siput air tawar spesies Oncomelania nosophora, O.hupensis,
O.formosana, O.hupensis linduensis di Danau Lindu (Sulawesi Tengah) dan O.
quadrasi. Siput berukuran kecil, operculate, amphibi serta dapat bertahan
hidup beberapa bulan dalam keadaan relatif kering.
Morfologi
dan siklus hidup
Cacing dewasa, menyerupai S. mansoni dan S. haematobium akan
tetapi tidak memiliki integumentary tuberculation. Cacing jantan,
panjang 12-20 mm, diameter 0,50-0,55 mm. integument ditutupi duri-duri sangat
halus dan lancip, lebih menonjol pada daerah batil isap dan kanalis
ginekoporik, memiliki 6-8 buah testis.
Cacing betina panjang ±26 mm dengan diameter ±0,3 mm. Ovarium dibelakang
pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria terbatas si daerah lateral;
pada ¼ bagian posterior tubuh. Uterus merupakan saluran panjang dan lurus
berisi 50-100 butir telur.
Telur berhialin, subsperis/oval dilihat dari lateral, dekat salah satu
kutubnya terdapat daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimenter (tombol)
. telur berukuran 70-100 x 50-65 µm.
Telur khas diletakkan dipusatkan pada vena kecil pada submukosa atau
mukosa organ yang berdekatan. Tempat telur S. japonicum biasa pada
percabangan vena mesentrica superior yang mengalirkan darah dari usus
halus. Telur keluar menembus submukosa dan mukosa, kemudian dibebaskan ke dalam
lumen usus bersama-sama darah. Tebalnya dinding dan jaringan parut pada mukosa
usus merupakan penghambat bagi telur untuk menembus jaringan tersebut sehingga
ini merupakan saringan dari dinding usus.
Miracidium menyerupai S. mansoni dan S. haematobium,
perbedaannya ukuran yang lebih kecil serta beberapa struktur kecil internal
lainnya. Selanjutnya jika kontak dengan siput yang sesuai, larva menembus
jaringan lunak dalam 5-7 minggu, membentuk generasi pertama dan kedua
sporokista. Pada perkembangan selanjutnya dibentuk serkaria bercabang. Serkaria
ini dikeluarkan jika siput berada pada atau dibawah permukaan air.
Dalam waktu 24 jam, serkaria menembus kulit sebagai hasil kerja kelenjar
penetrasi yang menghasilkan enzim proteolitik, menuju jalinan kapiler, ke dalam
sirkulasi vena menuju jantung kanan dan paru-paru terbawa ke jantung kiri
menuju sirkulasi sistemik. Tidak sepenuhnya rute ini dilalui oleh schistosomula
(muda). Pada migrasi mereka dari paru-paru ke hati. Mungkin seperti S.
mattheei, schistosomula merayap melawan aliran darah sepanjang dinding
arteri pulmonalis, jantung kanan, dan vena cava menuju ke hati melalui vena
hepatica. Infeksi dapat bertahan untuk jangka waktu yang tidak terbatas, dapat
mencapai 47 tahun.
Epidemiologi
Strain bersifat geografikal. Telah diketahui ada dua strain yaitu strain
Thailand-Malaysia dan strain Sulawesi. Perbedaan dari dua strain tersebut,
yaitu hospes siput yang sesuai. Di Indonesia, di pulau Sulawesi, keadaan
endemik tinggi di daerah Danau Lindu. Pada tahun 1971 dari pemeriksaan tinja
terdapat S japonicum 53% dari 126 penduduk pada usia 7 sampai 70 tahun
(Pinardi, dkk, 1972) dan dilembah Napu dilaporkan infection rate 8 dan
12% pada dua desa serta 7% pada Rattus exulans, tikus liar (Carney,dkk, 1978).
Pada tahun 1972, dari hasil survey Departemen Kesehatan. Sub-Direktorat
Schistosomiasis dari beberpa desa di sekitar danau lindu, Lembah Napu dan
daerah Besoa prevalensi S. japonicum antara 1-67%. Setelah melalui
program pemberantasan secara terpadu di daerah Danau Lindu dan Lembah
Napu, terlihat sekali penurunan prevalensi di Danau Lindu menjadi 1,9% dan di
Napu menjadi 1,5% (1993).
Patologi dan
klinik
Penyakit oleh spesies ini disebut schistosomiasis japonica atau
dinamakan juga oriental schistosomiasis atau penyakit Katayama. Organ yang
paling serius diserang, saluran pencernaan makanan dan hati. Jika terjadi
infeksi oleh ketiga spesies bersama-sama, parahnya penyakit tergantung kepada
parasit yang utama. Penyakit ini memperlihatkan tiga stadium, yaitu stadium
inkubasi, stadium peletakkan telur dan ekstrusi serta stadium proliferasi
jaringan dan perbaikan.
Selama terjadi migrasi dan pematangan (stadium inkubasi), lesi yang
mungkin timbul terdiri atas:
1)
Dermatitis, pada tempat penetrasi serkaria, tampak
pada 24-36 jam setelah infeksi, tidak diikuti infiltrasi seluler yang istimewa,
2)
Perubahan pada paru-paru akibat trauma dan infiltrasi,
berupa perdarahan pada paru-paru serta penimbunan lokal eosinofil, terdapat sel
epiteloid dan giant cells sekeliling pembuluh darah pulmoner pada
migrasi larva yang lemah,
3)
Hepatitis akut mengikuti masuknya larva serta selama
pertumbuhannya dalam pembuluh darah portal intrahepatik,
4)
Hiperemi pada dinding usus halus mengikuti masuk serta
pematangan cacing pada vena mesentrica superior,
5)
Trauma dengan perdarahan setelah telur diletakkan oleh
cacing betina, melepaskan diri dari venule kemudian menembus sub mukosa dan
mukosa intestinal masuk ke dalam lumen usus,
6)
Biasanya ditandai dengan meningkatnya eosinofil dalam
perdaran darah sebagai akibat perkembangan proses sensitizing-toxic
patologi akibat absorbsi sistemik dari metabolit cacing.
Sekali peletakkan telur dimulai, telur akan ditimbun
dalam kelompok kecil-kecil, pendek dalam rangkaian seperti sosis atau berupa
gumpalan pada pembuluh venule mesentrica terkecil dalam sub mukosa. Terjadi
penyumbatan aliran darah sehingga telur muncul dari vena mesentrica. Saat ini
terjadi hipermotiliti dari segmen intestinal yang mengandung parasit dan
terjadi rangsangan sekresi lendir oleh larva yang sedang mengalami pematangan
di dalam telur, yang mengakibatkan telur melepaskan diri dari pembuluh darah masuk
ke jaringan perivaskuler disertai pengeluaran darah, untuk kemudian dilepaskan
ke lumen usus dan dikeluarkan bersama tinja.
Sementara itu dengan semakin banyaknya jumlah telur,
mukosa dan submukosa mengalami infiltrasi sel hospes, infiltrasi eosinofil yang
jelas, akan menimbulkan terbentuknya granuloma makroskopis yang disebut
pseudotuberkel. Diameter pseudotuberkel beberapa kali lipat dari diameter
sebuah telur atau gumpalan telur yang terletak di sentral yang kesemuanya
bertanggung jawab terhadap pembentukkan lesi. Sementara telur diletakkan terus
menerus, induk cacing cenderung untuk meninggalkan tempat lama untuk
bermigrasi pada vena mesentrica yang baru pada usus, sedangkan telur yang
berada pada venule yang lebih besar akan menjadi bebas dan terbawa ke dalam
pembuluh porta intrahepatik dan kemudian mereka akan disaring dan akan
ditemukan perivaskular yang akan merangsang pembentukan pseudotuberkel
milier.
Pengobatan
S. japonicum lebih pathogen dan lebih resisten
terhadap pengobatan dibanding S. mansonia dan S. haematobium.
Agar pengobatan schistosomiasis japonica berhasil dengan baik, dianjurkan untuk
memperhatikan beberapa hal:
1.
Penderita diusahakan dalam stadium awal dari penyakit
sebelum menyerang hati dengan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki ataupun
menyerang organ-organ vital.
2.
Mencegah terjadinya reinfeksi.
3.
Meningkatkan daya tahan tubuh misalkan dengan pemberian
makanan dengan gizi tinggi.
4.
Dapat diberikan pengobatan dengan tartar emetik serta
pengobatan ulang pada kekambuhan ringan. Karena tartar emetik bersifat
hepatotoksik, selama pengobatan dianjurkan untuk dilakukan tes fungsi hati.
Pemberian tartar emetik (kalium antimonium tartrat) dengan suntikan intravena
serta dalam waktu lama merupakan obat efektif dan obat pilihan pada pengobatan
penyakit ini.
Praziquantel merupakan obat schistosomiasis yang baru
dari komponen pyrazinoquinoline, diberikan per-oral dalam sehari pemberian,
ternyata cukup efekif dengan toleransi yang relatif baik diberikan per-oral
dalam 3 dosis, masing-masing 20 mg/kgBB dengan waktu antara 4 jam,
menghasilkan angka penyembuhan 80%. Efek sampingan terdapat pada 50-60%
penderita yang diberi pengobatan dengan dosis ini, tetapi efeknya ringan serta
sementara, tidak enak perut, sakit kepala, sakit punggung, demam , berkeringat
dan pening. Kemoterapi lainnya, yaitu oxamniquine dan metrifonate,
memiliki efektifitas tinggi, berturut-turut terhadap schistosomiasis mansoni
dan schistosomiasis haematobia sedangkan untuk schistosomiasis japonica tidak
efektif, sedangkan niridazole dapat mengurangi jumlah telur tetapi tidak
mengurangi infeksi.
Pencegahan
dan kontrol
Kontrol pada schistosomiasis japonica dipersulit dengan dipergunakannya
secara umum tinja manusia untuk pupuk pada daerah endemik. Dianjurkan
tinja terlebih dahulu disimpan dalam waktu lebih lama dalam penampungan tinja
atau dengan penambahan desinfektan dengan garam pupuk seperti ammonium nitrat
yang dapat membunuh telur sebelum disebarkan ke ladang. Petani dan pekerja di
air kanal, di sungai secara prinsip tertulari, akan tetapi dapat pula manusia
pada semua usia terutama anak-anak, tertulari selama mandi atau menyebrang
daerah ini, demikian juga pada orang yang menggunakan air yang telah terinfeksi
untuk mencuci pakaian. Banjir membawa siput yang terinfeksi ke hilir
dengan melewati perkotaan. Faktor lain adalah hospes perantara siput yang
memiliki operculum, bersifat amphibi dan dapat bertahan terhadap pengeringan
selama sebulan atau lebih. Siput yang terinfeksi dapat bertahan hidup beberapa
minggu dalam kekeringan dan jika terkena air kembali, akan menjadi aktif dan
mengeluarkan serkaria yang infektif.
Strategi pemberantasan schistosomiasis di Indonesia (Adyatma, 1980) sebagai
berikut:
1.
Meningkatkan pemberantasan penyakit untuk mencegah
kemungkinan penyebaran ke daerah lain.
2.
Metode intervensi , yaitu metode kombinasi pengobatan
penderita, pemberantasan keong, perbaikan sanitasi lingkungan dan
agroengineering (mengeringkan daerah rawa-rawa) yang merupakan focus keong.
3.
Mengadakan kerjasama lintas sektoral khususnya untuk
agroengineering, kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian untuk menunjang
pemberantasan. Pemberantasan Schistosomiasis di Sulawesi Tengah telah dilakukan
sejak 1988 secara terpadu yang melibatkan semua instansi terkait yaitu
Departemen PU, Pertanian, Kehutanan, Dalam Negeri, Transmigrasi, Kesehatan
Tingkat 1 Sul-Teng serta Tim Penggerak PKK. Hasil yang dicapai dari
pemberantasan secara terpadu ini adalah turunnya prevalensi penderita
Schistosomiasis menjadi 1,5% di dataran tinggi Napu dan 2,5% di Danau Lindu
(1993).
b)
Schistosomiasis mansoni
Etiologi
Schistosoma mansoni (Sambon,1907)
Epidemiologi
Penyakit oleh S. mansoni dinamakan
schistosomiasis mansoni, Manson’s intestinal schistosomiasis atau
bilharziasis. Infeksi pada manusia hampir semua berasal dari sumber manusia
yang lain, walaupum kera dan baboon pada daerah endemik kadang-kadang ditemukan
terinfeksi. Cacing ini terutama tersebar di Afrika dan Brazil serta daerah
lainya yaitu Mesir, Puerto Rico dan Venezuela.
Habitat dan
hospes
Habitat pada vena mesentrica inferior yang mengalirkan darah dari usus
besar dan segmen posterior ileum. Telur ditimbun pada venule di submukosa usus,
sebagai hospes definitif, disamping pada manusia juga pada kera dan
rodensia. Sedangkan sebagai hospes perantara siput air tawar genus Biomphalaria,
Australorbis, Tropicobis, terutama Biomphalaria glabrata dan Biomphalaria
alexandrina.
Morfologi
Morfologi cacing jantan panjangnya 6,4-12 mm, tuberkulasi jelas, duri
kasar, testis 6-9 buah, pinggir lateral saling mengunci oleh duri acuminate,
pada tempat ini lebih panjang dari tepat lain. Cacing betina panjangnya 7,2-17
mm, letak ovarium di anterior pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria memenuhi
pinggiran lateral dan pertengahan tubuh, uterus pendek diisi beberapa butir
telur (1-4 butir).
Telur : Berukuran 114-175 x 45-68 µm, berwarna coklat kekuningan,
transparan, dekat salah satu kutubnya terdapat duri lateral yang spesifik.
Telur menghasilkan enzim untuk memudahkan keluar melewati jaringan masuk ke
dalam lumen usus. Telur sudah matang, akan segera pecah setelah kontak dengan
air karena sifatnya yang menyerap air.
Siklus hidup
Siklus hidup S mansoni, pada kondisi yang menguntungkan, waktu
minimum yang dibutuhkan ± 4 minggu. Serkaria memiliki beberapa pasang kelenjar
penetrasi pada bagian kepalanya, menembus kulit hospes pada lipatan, lubang
rambut atau dibawah selaput tanduk. Perjalanan selanjutnya sama dengan S.
japonicum.
Gejala
klinik
Granuloma oleh S. japonicum lebih besar, lebih eksudatif, lebih
destruktif serta meninggalkan sisa jaringan parut yang lebih besar. Organ yang
lebih serius diserang kolon dan rectum, akan tetapi pada hati juga akan terjadi
proses patologis terutama fibriosis hati. Sama seperti S. japonicum,
S.mansoni juga menunjukkan tiga stadium :
1)
Periode inkubasi
2)
Periode deposisi dan ekstrusi telur
3)
Periode proliferasi jaringan dan perbaikan.
Ekstrusi telur yang pertama terjadi pada 5-7 minggu
setelah infeksi, diikuti disentri schistosomiasis yang klasik dengan lendir dan
darah pada tinjanya. Hati dan limpa juga sangat membesar dengan perabaan lunak,
mula-mula disebabkan oleh infiltrasi telur. Telur mungkin masuk ke jaringan
paru-paru, pankreas, limpa, ginjal, adrenal, miokardium atau kadang-kadang sumsum
tulang belakang dan memulai proses patologi dari organ-organ ini dengan
gejala-gejala yang sesuai. Pada sekitar 0,1% penderita, telur dengan duri
lateral sampai pada vesica urinaria yang akan dikeluarkan bersama urine.
Komplikasi pulmoner pada schistosomiasis mansoni termasuk tipe bronchopulmoner
menyerupai TBC lanjut, dengan enarteritis pembuluh darah pulmoner
serta bentuk cardiopulmoner yang berakhir dengan lemah jantung kongestif.
Diagnosis
Selama fase prodromal sampai akhir periode prepaten, diagnosis dapat
dilakukan dengan tes serologis. Segera setelah ekstrusi telur dimulai,
diagnosis dengan menemukan telur dalam tinja dengan metode konsentrasi jika
telur tidak ditemukan pada sediaan langsung atau pada “Kato thick
fecal film”. Dilakukan dengan sedimentasi pada 0,5% gliserin dalam
air atau dengan metode konsentrasi lain. Penderita dengan disertai komplikasi
pulmoner yang disebabkan oleh schistosomiasis, maka diagnosis didasarkan pada
gambaran klinis, visualisasi dari lesi pada sinar rontgen dan pada waktunya
menemukan telur dalam sputum. Jika telur pada pemeriksaan tidak dapat
ditemukan, dilakukan pemeriksaan serologis. Untuk survey di masyarakat, dapat
digunakan metode Kato dengan hasil yang cukup baik.
Pengobatan
Tartar emetik seperti pada S japonicum cukup efektif, hanya sulit dalam
pemberian dan toleransinya rendah sehingga bukan merupakan obat pilihan.
Obat-obat lainnya yaitu Stibofen (Fuadin), pemberian intramuscular dalam
larutan 6,3% 40-75 ml yang diberikan dalam 10-16 kali pemberian. Niridazole
(CIBA 32.644 Ba atau Ambilhar) efektif mengobati Schistosomiasis mansoni dengan
dosis perhari 25 mg/kg BB, diberikan dalam waktu 5-10 hari. Obat lainnya yang
cukup baik adalah nitroquinoline, Oxamniquine,yang diberikan per-oral. Dosis optimim
belum dapat ditentukan, disarankan dosis 15 mg/kgBB dalam dosis tunggal.
Niridazole lebih efektif pada anak-anak daripada Oxamniquine yang efektif pada
orang dewasa. Pengobatan dengan Praziquantel aman dan efektif pada dosis
tunggal 40 mg/kgBB. Oltripaz merupakan obat baru yang dilaporkan juga efektif
untuk Schistosomiasis mansoni.
Pencegahan
Pencegahan sama dengan S japonicum, pada prinsipnya penggunaan
Moluscisida pada beberapa keadaan dapat efektif mengurangi atau secara lengkap
memutuskan transmisi parasit, akan tetapi membutuhkan waktu lama. Program
kesehatan masyarakat dengan menyediakan tempat mandi umum, mencuci pakaian
serta system pembuangan yang sehat memberikan pencegahan yang baik terhadap
penyakit ini.
c)
Schistosomiasis haematobium
Etiologi
Schistosoma haematobium (Bilharz,
1852 dan Weiland, 1858)
Epidemiologi
Merupakan trematoda darah yang dapat menyebabkan
Schistosomiasis vesikalis (penyakit parasit pada organ genitourinari),
schistosomiasis haematobia, vesical atau urinary bilharziasis, Schistosomal
hematuria. Schistosomiasis haematobium sering terjadi di hulu sngai
Nil. Sebagian besar Afrika termasuk kepulauan di Pantai Timur Afrika,
ujung Selatan Eropa, Asia barat dan India.
Habitat dan hospes
S. haematobium dewasa
hidupnya terutama di flexus vena vesikalis dan pelvic, mungkin pada
aliran darah porta, vena mesentrica inferior, vena pudendalis, vena
haemorroidalis, jarang pada venula lainnya. Hospes definitif selain manusia
juga kera (Cercocebus torquatus atys), baboon (Papio doguera dan Papio
rhodesiae), Chimpanzee (Pan satirus). Hospes perantara siput air
dari genus Bulinus dan Planorbarius.
Morfologi dan siklus hidup
Cacing jantan gemuk, berukuran 10-15 x 0,8-1 mm,
ditutupi integument tuberkulasi kecil, memiliki dua batil isap berotot, yang
ventral lebih besar. Di belakang batil isap ventral, melipat ke arah ventral
sampai ekstremitas kaudal, membentuk kanalis ginekoporik. Persis di balakang
batil isap ventral terdapat 4-5 buah testis besar. Porus genitalis tepat
dibawah batil isap ventral.
Cacing betina panjang silindris, ukuran 20 x 0,25 mm,
batil isap kecil, ovarium terletak posterior dari permukaan tubuh. Uterus
panjang sekitar 20-30 telur berkembang pada satu saat dalam uterus.
Oviposisi biasa terjadi dalam venule kecil pada vesica urinaria dan pelvicus
seperti venule rectalis. Tempat-tempat ektopik ditemukan pada kelenjar prostat
dan jaringan subkutan lipat paha dan scrotum, jaringan kulit sekitar umbilicus,
conjunctiva dan kelenjar lakrimalis. Telur dapat menembus dinding pembuluh
darah menembus mukosa sampai ke lumen bersama darah yang keluar dari luka,
keluar bersama urine terutama pada akhir miksi atau pada tinja disentri.
Morfologi
telur Schistosoma haematobium
Berwarna coklat kekuningan, memiliki duri terminal,
transparan, berukuran 112-170 x 40-70 µm. pada siput yang sesuai dalam 4-8
minggu terbentuk sporokista generasi pertama dan kedua, akhirnya akan
menjadi serkaria yang setiap hari akan lolos dari tubuh siput secara
berkelompok selama beberapa minggu atau bulan, setelah meninggalkan siput
serkaria berenang aktif mencari hospes. Serkaria kontak dengan kulit, air
menguap, menembus kulit, ekornya dilepaskan.
Keadaan hidup bebas ini tidak lebih dari 3 hari
(biasanya 24 jam atau kurang), selama dapat bertahan tidak makan.
Kemudian menembus ke bawah permukaan epidermis dengan lincah dalam waktu kurang
dari 30 menit. Biasanya dalam 1-2 hari, larva telah sampai venule perifer,
terbawa ke jantung kanan, masuk ke dalam pembuluh darah pulmoner. Menjelang
dewasa memerlukan waktu 20 hari sejak penetrasi ke dalam kulit. Mereka masuk ke
dalam vena mesentrica inferior, tinggal dan matang dalam vena rektalis, akan
tetapi biasanya bermigrasi melalui vena haemorroidalis dan vena
pudendalis menuju vena vesicalis dan plexus pelvicus, mereka sampai dalam waktu
3 bulan setelah menembus kulit. Periode prepaten biasanya memerlukan waktu
10-12 minggu.
Gejala klinik
Setelah kontak dengan kulit manusia, serkaria
masuk ke dalam pembuluh darah kulit. Lebih kurang 5 hari setelah infeksi,
cacing muda mulai menjangkau vena porta dan hati. Kira-kira tiga minggu setelah
infeksi, pematangan cacing dimulai sejak keluar dari vena porta. Setelah 10-12
minggu cacing betina mulai meletakkan telur pada venule.
Pada schistosomiasis vesicalis, primer kerusakan
jaringan pada dinding vesica urinaria, sekunder pada bagian distal ureter,
organ urinarius dan genital yang berdekatan atau rectum dan akhirnya pada
paru-paru dan organ yang lebih jauh. Bila jumlah telur lebih banyak maka akan diinfiltrasi
dan ditahan dalam jaringan, menjadi pusat pembentukkan pseudoabses. Abses dekat
lumen vesica urinaria atau organ lain, mungkin pecah dan mengeluarkan telurnya
, berlanjut dengan pembentukkan jaringan fibrosis berakhir dengan pembentukkan
pseudotuberkel yang akhirnya akan terjadi fibrosis seluruh organ.
Efek S.haematobium terdiri atas:
1.
Reaksi lokal dan umum terhadap metabolit cacing yang
sedang tumbuh dan matang,
2.
Trauma dengan perdarahan akibat telur keluar dari
venule,
3.
Pembentukkan pseudoabses dan psudotuberkel
mengelilingi telur terbatas pada jaringan perivaskular
4.
Obstruktif uropati. Aspek klinik infeksi terbagi
menjadi tiga periode : masa inkubasi, deposisi dan ekstruksi telur, proliferasi
jaringan dan perbaikan.
Deposisi dan ekstrusi telur, inflamasi dan
pembentukkan pseudotuberkel pada sekeliling telur diikuti:
(1)
Hyperplasia dan fibrosis umum dinding vesica dan
ureter bagian bawah
(2)
Infeksi sekunder. Gejalanya berupa sistitis kronis. Pemeriksaan
sitoskopis menjadi lebih sulit. Lesi yang terjadi pada laki-laki dapat sampai
penis dan elephantiasis organ akibat penyumbatan limphaticus scrotalis. Lesi
pada wanita biasanya kurang berat meskipun cervix, vagina dan vulva mungkin
dikenai.
Diagnosis
Diagnosis
spesifik hanya dapat dibuat :
1.
Setelah telur dilepaskan ke dalam lumen vesica urinaria
dan muncul dalam urine.
2.
Setelah telur dilepaskan ke dalam lumen usus dan
ditemukan bersama tinja.
3.
Dari bahan aspirasi atau biopsi yang diperoleh melalui
cytoscope atau proctoscope dan diperiksa secara mikroskopik terhadap adanya
telur. Immunodiagnosis umumnya hanya merupakan group specific sering
dilakukan pada kasus dengan gejala-gejala selama prepaten yang terlambat.
Telur S. haematobium biasanya terdapat dalam urine, meskipun pada
infeksi berat dapat ditemukan pada faeces. Bahan pemeriksaan urine hematuri
dapat terdiri dari banyak telur terperangkap dalam lendir dan nanah. Puncak
eksresi telur terjadi antara siang dan jam tiga sore. Specimen yang dikumpulkan
pada waktu tersebut atau urine 24 jam tanpa pengawet,dapat digunakan untuk
pemeriksaan mikroskopis setelah disentrifuge atau sedimentasi. Yang harus
diperhatikan dalam diagnosis Schistosoma haematobium : Telur tidak
terdapat dalam urine sampai cacing dewasa ( memerlukan waktu 5 sampai 13 minggu
setelah awal infeksi).
Pada infeksi ringan atau kronis telur akan sulit didapat dalam urine,
sehingga dibutuhkan pemeriksaan berulang-ulang atau pemeriksaan serologis akan
sangat membantu. Kadangkala terdapat juga dalam faeces sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan urine dan faeces. Teknik membrane filtrasi menggunakan saringan
nukleopore akan sangat membantu dalam penegakkan diagnosa. Pasien yang telah
menjalani pengobatan harus di follow-up dan pemeriksaan terus dilakukan sampai
1 tahun untuk mengevaluasi pengobatan. Pada infeksi aktif, telur dapat
mengandung miracidia.
Pengobatan
Obat merrifonate (Bilarcil), organoposfor cholinesterase inhibitor, tidak
efektif terhadap S japonicum dan S mansoni tetapi unggul dalam
pengobatan terhadap Schistosomiasis vesikalis karena murah, manjur dan mudah
diterima oleh penderita. Dengan dosis 5-15 mg/kgBB diberikan dengan interval 2
minggu untuk 3 dosis membutuhkan waktu 4 minggu. Oxamniquine tidak efektif
untuk schistosomiasis vesikalis.
Pencegahan
Mengurangi sumber infeksi dari cacing ini dilakukan dengan pengobatan
penderita, terutama pengobatan massal di daerah endemik. Dapat dilakukan
pencegahan dengan tiga program, yaitu:
1. Eradikasi
tuan rumah molusca, paling sedikit untuk satu siklus transmisi, dengan
penanganan air dan kampanye moluscasida pada daerah endemic.
2. Perbaikan
sanitasi lingkungan untuk mengurangi kepadatan habitat siput dimana
telur schistosoma dikeluarkan pada urine dan faeces manusia yang
merupakan sumber infeksi untuk siput.
3. Pengobatan
secara efektif pada penderita terutama carrier untuk mengurangi kontaminasi
pada air.
Daftar Pustaka
ü Natadisastra
Djaenudin, Ridad Agoes, Parasitologi Kedokteran, Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang, Cetakan 1, EGC, 2009
ü Winn
Washington, Stephen Allen, Willian Janda, Elmer Koneman, Gary Procop, Paul
Schreckenberger, Gall Woods, Color Atlas and Textbook of Diagnostic
Microbiology, Sixth edition, Lippincott Williams & Wilkins, 2006
ü Schistosoma,
tersedia dari:
Diunduh 8 mei 2010
ü Siklus hidup
Schistosoma spp, tersedia dari:
Diunduh 8 mei 2010
ü Telur Schistosoma
spp, tersedia dari:
Diunduh 8 mei 2010
ü Trematoda hati
dan paru-paru, tersedia dari:
Diunduh 8 mei 2010
ü Miracidium
dan serkaria, tersedia dari:
Diunduh 8 mei 2010