Cari Blog Ini

Kamis, 27 Juni 2013

MAKALAH MATA KULIAH MIKROBIOLOGI




MAKALAH
MATA KULIAH MIKROBIOLOGI
“ Trematoda Darah dan Jaringan ”
 



Disusun Oleh :

( Kelompok 4 )
Nur Hesti Wulandari (12.032)
Nuri Arini (12.033)
Nurul Laily Utami (12.034)
Royyan Hidayatullah (12.035)
Selly Dwi Oktimerdhani (12.036)
Siti Nurul Jannah (12.037)
Sitti Musyarrofah (12.038)
Tutik Hadiyanti (12.039)
Vin Norrin Baity (12.040)
Yudhisira Wahyu Alamsyah (12.041)
Zainol Hayat (12.042)

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN
AKADEMI KEPERAWATAN

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan penugasan makalah Mikrobiologi ini dengan judul “ Trematoda Darah dan Jaringan ” sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Dalam penyelesaian ini, kami banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat.
1.    Ibu Nurul Hidayati, S.Kep.  selaku dosen pengajar matakuliah Mikrobiologi yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan dorongan, pengarahan, dan bimbingan beserta saran dari awal sampai akhir penulisan makalah ini.
2.    Kedua orang tua kami, saudara kami serta semua anggota keluarga kami yang telah memberikan dukungan moral, materi, dan spiritual selama menyelesaikan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi kami sendiri pada khususnya. Semoga makalah ini dapat melancarkan kami dalam penyusunan atau penugasan makalah selanjutnya. Dan kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki penyusun, karena itu kami berharap saran dan kritik dari semua pihak yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan  makalah ini.


Pamekasan, 30 - Mei - 2013
Penyusun

Kelompok 4
Trematoda Darah dan Jaringan
 



BAB I
PENDAHULUAN

1.        Latar Belakang

Trematoda atau cacing daun termasuk dalam filum Platyhelminthesdan hidup sebagai parasit. Banyak sekali macam hewan yang dapat berperan sebagai hospes definitif bagi cacing trematoda ,sebut saja kucing,anjing, sapi ,babi, tikus, burung, dan harimau. Tidak ketinggalan manusiapun merupakan hospes utama bagi cacing trematoda. Trematoda menuruttempat hidupnya dibagi menjadi empat yaitu trematoda hati, trematodaparu, trematoda usus, dan trematoda darah. (FKUI, 1998).
Makalah ini akan membahas tentang Trematoda darah dan jaringan (Trematoda paru dan trematoda hati). Pada trematoda darah akan membahas tiga spesies pentingnya yaitu Schistosoma mansoniSchistosoma japonicum dan Schistosoma haematobium. Paragonimuswestermani pada trematoda paru dan pada trematoda hati akan membahas Clonorchis sinensis, Opistorchis felineus, dan Fasciola hepatica.(Onggowaluyo, 2001).
Secara umum cacing– cacing ini mempunyai hospes definitif manusia. Cacing tersebut sebagian juga dapat kita temukan di Indonesia seperti Schistosoma japonicum, Paragonimus westermani dan Clonorchissinensis (Onggowaluyo,2001). Oleh sebab itu diperlukan informasi yang jelas dan tepat mengenai spesies dari cacing tersebut, habitatnya, gejalapenyakit, pengobatan, pencegahan dan juga pengandaliannya, untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit yang dapat timbul akibatcacing trematoda B.

2.        Tujuan

Tujuan penyusunan makalah berjudul “ Trematoda Parasit Darah dan Jaringan ” ini adalah :
1.        Untuk mengetahui klasifikasi Trematoda Darah dan Jaringan
2.        Untuk mengetahui hospes dan nama penyakit yang ditimbulkan oleh Trematoda Darah dan Jaringan
3.        Untuk mengetahui morfologi Trematoda Darah dan Jaringan
4.        Untuk mengetahui distribusi geografik Trematoda Darah dan Jaringan
5.        Untuk mengetahui siklus hidup Trematoda Darah dan Jaringan
6.        Untuk mengetahui epidemiologi Trematoda Darah dan Jaringan
7.        Untuk mengetahui patologi dan gejala klinis yang ditimbulkan oleh Trematoda Darah dan Jaringan
8.        Untuk mengetahui diagnosis yang harus dilakukan dalam penanganan Trematoda Darah dan Jaringan
9.        Untuk mengetahui cara pengobatan penyakit akibat Trematoda Darah dan Jaringan
10.    Untuk mengetahui pencegahan yang harus dilakukan agar tidak terjangkit penyakit yang disebabakan oleh Trematoda Darah dan Jaringan


BAB II
PEMBAHASAN

Trematoda darah

Trematoda darah memiliki perbedaan dengan trematoda lainnya, diantaranya cacing dewasa tidak memiliki otot faring serta memiliki kelamin terpisah (ada cacing jantan dan betina). Saluran pencernaan setelah caecum bercabang dua, di sebelah distal, caecum bersatu kembali dan buntu. Pada trematoda darah hanya memerlukan satu hospes perantara. Telur tidak beroperkulum, menetas saat kontak dengan air. Serkaria ekornya bercabang, masuk ke dalam tubuh hospes definitif dengan cara serkaria menembus kulit. Perubahan yang terjadi pada hospes perantara miracidium menjadi sporokista I dan sporokista II akhirnya menjadi serkaria.
Penamaan Schistosoma berasal dari bentuk cacing jantan dewasanya, yang tampak pada  tubuhnya  memiliki saluran genitalia memanjang berlekuk-lekuk, yang merupakan tempat kontak dengan cacing betina pada saat kopulasi. Schistosoma terdiri atas tiga spesies  pathogen yang terutama menginfeksi manusia yaitu : Schistosoma japonicum; habitatnya adalah pada vena mesentrika superior, Schistosoma mansoni; habitatnya adalah pada vena mesentrika interior, Schistosoma haematobium; habitatnya adalah pada vena mesentrika inferior, terutama pada vena sebelum vesica urinaria.
Terdapat spesies pathogen lainnya yang mirip Schistosoma japonicum  yaitu Schistosoma. mekongi yang merupakan cacing dengan penyebaran terbatas pada lembah sungai di  daerah Mekong dan Schistosoma intercalatum dengan telur mirip Schistosoma haematobium tetapi secara klinis gejalanya seperti S.mansoni, merupakan cacing endemis di daerah Afrika barat dan Afrika tengah. Siklus hidup Schistosoma  tidak memerlukan hospes perantara kedua untuk penularan penyakitnya.
Schistosoma japonicum habitatnya pada vena mesenterica superior. Schistosoma mansoni habitatnya pada vena mesentrica inferior, sedangkan Schistosoma haematobium pada vena mesentrica inferior, vena haemorrhoidalis, vena pudendalis dan sering terdapat pada plexus vena vesicalis.
Secara umum penyakitnya disebut schistosomiasis (Bilharziasis). Ada dua macam schistosomiasis , yaitu schistosomiasis intestinalis yang disebabkan oleh Schistosoma mansoni dan  Schistosoma japonicum dan schistosomiasis vesikalis yang disebabkan oleh Schistosoma haematobium.
Distribusi geografik bagi schistosomiasis berlainan  bagi trematoda darah, antar lain untuk Schistosoma japonicum di daerah Formosa (hanya enzootic/terbatas pada binatang) daerah lain di Timur Jauh yang bersifat endemik dan enzootic. Untuk Schistosoma mansoni di daerah Mesir, Afrika barat, Puertorico, Venezuela dan Brazil. Sedangkan untuk Schistosoma haematobium di daerah Mesir, Afrika Barat, Maroko dan Portugal.
Schistosomiasis di Indonesia, terdapat disekitar danau Lindu, Lembah Napu dan daerah Besoa (propinsi Sulawesi Tengah) yang merupakan daerah penyebaran endemis di Indonesia. Penyakitnya Schistosomiasis japonica dengan hospes perantara Oncomelania hupensis lindoensis yang ditemukan oleh Davis dan Carney, 1973.

Siklus Hidup

Telur yang sudah matang diletakkan dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan mukosa usus dan kandung kencing (tergantung spesies cacing). Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi ke jaringan untuk kemudian sampai pada lumen usus dan kandung kencing, akhirnya telur akan ditemukan dalam tinja atau urine. Telur segera menetas dalam air dan keluar miracidium. Didalam tubuh keong, miracidium berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II akhirnya menjadi serkaria. Serkaria memiliki kemampuan menembus kulit, masuk ke dalam kapiler darah, akhirnya sampai ke dalam vena kecil usus  atau kandung kencing.

Siklus hidup Schistosoma spp

Telur keluar bersama urne atau faeces. Pada kondisi optimum ( berada dalam air ) telur menetas menjadi miracidia, miracidia masuk ke dalam hospes perantara yaitu keong air tawar. Dalam tubuh keong (moluska) miracidium berkembang dalam dua tahapan menjadi sporokista sporokista berkembang menjadi serkaria. Ketika serkaria keluar dari tubuh keong, serkaria infektif berenang bebas dan menginfeksi manusia dengan cara penetrasi ke dalam melalui kulit, serkaria melepaskan ekornya dan menjadi schistosomulae. Schistosomulae bermigrasi melewati beberapa jaringan dan menetap pada habitatnya dalam vena mesentrica atau vena saluran kemih. Cacing dewasa tinggal pada lokasi vena spesifik yang berbeda sesuai spesies   S. japonicum lebih sering ditemukan pada vena mesentrica superior pada usus halus dan S. mansoni biasa terjadi ditemukan pada vena mesentrika superior pada usus besar. S. haematobium biasa ditemukan pada vena flexus vesicalis, tetapi dapat pula ditemukan pada vena sekitar retum.

a)        Schistosomiasis japonica

Etiologi
Schistosoma japonicum (Katsurada, 1904)

Penyebaran geografi
Cacing terbatas penyebarannya di daerah Timur Jauh, Jepang, China, Taiwan, Philipina, Thailand. Fokus infeksi ditemukan oleh Brug dan Tesch (1937) dipertegas oleh Faust dan Boone (1948) di daerah Palu, Sulawesi Tengah (Indonesia).
Hospes definitif selain manusia juga anjing, kucing, tikus, sapi, kerbau, babi, kuda, kambing dan biri-biri. Membutuhkan hospes perantara siput  air tawar spesies Oncomelania nosophora, O.hupensis, O.formosana, O.hupensis linduensis di Danau Lindu (Sulawesi Tengah) dan O. quadrasi. Siput berukuran kecil, operculate, amphibi serta dapat bertahan hidup beberapa bulan dalam keadaan relatif kering.

Morfologi dan siklus hidup
Cacing dewasa, menyerupai S. mansoni dan S. haematobium akan tetapi tidak memiliki integumentary tuberculation. Cacing jantan, panjang 12-20 mm, diameter 0,50-0,55 mm. integument ditutupi duri-duri sangat halus dan lancip, lebih menonjol pada daerah batil isap dan kanalis ginekoporik, memiliki 6-8 buah testis.
Cacing betina panjang ±26 mm dengan diameter ±0,3 mm. Ovarium dibelakang pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria terbatas si daerah lateral; pada  ¼ bagian posterior tubuh. Uterus merupakan saluran panjang dan lurus berisi 50-100 butir telur.
Telur berhialin, subsperis/oval dilihat dari lateral, dekat salah satu kutubnya terdapat daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimenter (tombol) . telur berukuran 70-100 x 50-65 µm.
Telur khas diletakkan dipusatkan pada  vena kecil pada submukosa atau mukosa organ yang berdekatan. Tempat telur S. japonicum biasa pada percabangan  vena mesentrica superior yang mengalirkan darah dari usus halus. Telur keluar menembus submukosa dan mukosa, kemudian dibebaskan ke dalam lumen usus bersama-sama darah. Tebalnya dinding dan jaringan parut pada mukosa usus merupakan penghambat bagi telur untuk menembus jaringan tersebut sehingga ini merupakan saringan dari dinding usus.
Miracidium menyerupai S. mansoni dan S. haematobium, perbedaannya ukuran yang lebih kecil serta beberapa struktur kecil internal lainnya. Selanjutnya jika kontak dengan siput yang sesuai, larva menembus jaringan lunak dalam 5-7 minggu, membentuk generasi pertama dan kedua sporokista. Pada perkembangan selanjutnya dibentuk serkaria bercabang. Serkaria ini dikeluarkan jika siput berada pada atau dibawah permukaan air.
Dalam waktu 24 jam, serkaria menembus kulit sebagai hasil kerja kelenjar penetrasi yang menghasilkan enzim proteolitik, menuju jalinan kapiler, ke dalam sirkulasi vena menuju jantung kanan dan paru-paru terbawa ke jantung kiri menuju sirkulasi sistemik. Tidak sepenuhnya rute ini dilalui oleh schistosomula (muda). Pada migrasi mereka dari paru-paru ke hati. Mungkin seperti S. mattheei, schistosomula merayap melawan aliran darah sepanjang dinding arteri pulmonalis, jantung kanan, dan vena cava menuju ke hati melalui vena hepatica. Infeksi dapat bertahan untuk jangka waktu yang tidak terbatas, dapat mencapai 47 tahun.

Epidemiologi
Strain bersifat geografikal. Telah diketahui ada dua strain yaitu strain Thailand-Malaysia dan strain Sulawesi. Perbedaan dari dua strain tersebut, yaitu hospes siput yang sesuai. Di Indonesia, di pulau Sulawesi, keadaan endemik tinggi di daerah Danau Lindu. Pada tahun 1971 dari pemeriksaan tinja terdapat S japonicum 53% dari 126 penduduk pada usia 7 sampai 70 tahun (Pinardi, dkk, 1972) dan dilembah Napu dilaporkan infection rate 8 dan 12% pada dua desa serta 7% pada Rattus exulans, tikus liar (Carney,dkk, 1978). Pada tahun 1972, dari hasil survey Departemen Kesehatan. Sub-Direktorat Schistosomiasis dari beberpa desa di sekitar danau lindu, Lembah Napu dan daerah Besoa prevalensi S. japonicum antara 1-67%. Setelah melalui program pemberantasan secara terpadu di daerah  Danau Lindu dan Lembah Napu, terlihat sekali penurunan prevalensi di Danau Lindu menjadi 1,9% dan di Napu menjadi 1,5% (1993).

Patologi dan klinik
Penyakit oleh spesies ini disebut schistosomiasis japonica atau dinamakan juga oriental schistosomiasis atau penyakit Katayama. Organ yang paling serius diserang, saluran pencernaan makanan dan hati. Jika terjadi infeksi oleh ketiga spesies bersama-sama, parahnya penyakit tergantung kepada parasit yang utama. Penyakit ini memperlihatkan tiga stadium, yaitu stadium inkubasi, stadium peletakkan telur dan ekstrusi serta stadium proliferasi jaringan dan perbaikan.
Selama terjadi migrasi dan pematangan  (stadium inkubasi), lesi yang mungkin timbul terdiri atas:
1)      Dermatitis, pada tempat penetrasi serkaria, tampak pada 24-36 jam setelah infeksi, tidak diikuti infiltrasi seluler yang istimewa,
2)      Perubahan pada paru-paru akibat trauma dan infiltrasi, berupa perdarahan pada paru-paru serta penimbunan lokal eosinofil, terdapat sel epiteloid dan giant cells sekeliling pembuluh darah pulmoner pada migrasi larva yang lemah,
3)      Hepatitis akut mengikuti masuknya larva serta selama pertumbuhannya dalam pembuluh darah portal intrahepatik,
4)      Hiperemi pada dinding usus halus mengikuti masuk serta pematangan cacing pada vena mesentrica superior,
5)      Trauma dengan perdarahan setelah telur diletakkan oleh cacing betina, melepaskan diri dari venule kemudian menembus sub mukosa dan mukosa intestinal masuk ke dalam lumen usus,
6)      Biasanya ditandai dengan meningkatnya eosinofil dalam perdaran darah sebagai akibat perkembangan proses sensitizing-toxic patologi akibat absorbsi sistemik dari metabolit cacing.

Sekali peletakkan telur dimulai, telur akan ditimbun dalam kelompok kecil-kecil, pendek dalam rangkaian seperti sosis atau berupa gumpalan pada pembuluh venule mesentrica terkecil dalam sub mukosa. Terjadi penyumbatan aliran darah sehingga telur muncul dari vena mesentrica. Saat ini terjadi hipermotiliti dari segmen intestinal yang mengandung parasit dan terjadi rangsangan sekresi lendir oleh larva yang sedang mengalami pematangan di dalam telur, yang mengakibatkan telur melepaskan diri dari pembuluh darah masuk ke jaringan perivaskuler disertai pengeluaran darah, untuk kemudian dilepaskan ke lumen usus dan dikeluarkan bersama tinja.
Sementara itu dengan semakin banyaknya jumlah telur, mukosa dan submukosa mengalami infiltrasi sel hospes, infiltrasi eosinofil yang jelas, akan menimbulkan terbentuknya granuloma makroskopis yang disebut pseudotuberkel. Diameter pseudotuberkel beberapa kali lipat  dari diameter sebuah telur atau gumpalan telur yang terletak di sentral yang kesemuanya bertanggung jawab terhadap pembentukkan lesi. Sementara telur diletakkan terus menerus, induk cacing cenderung untuk  meninggalkan tempat lama untuk bermigrasi pada vena mesentrica yang baru pada usus, sedangkan telur yang berada pada venule yang lebih besar akan menjadi bebas dan terbawa ke dalam pembuluh porta intrahepatik dan kemudian mereka akan disaring dan akan ditemukan perivaskular yang akan merangsang  pembentukan pseudotuberkel milier.

Pengobatan
S. japonicum lebih pathogen dan lebih resisten terhadap pengobatan  dibanding S. mansonia dan S. haematobium. Agar pengobatan schistosomiasis japonica berhasil dengan baik, dianjurkan untuk memperhatikan beberapa hal:
1.      Penderita diusahakan dalam stadium awal dari penyakit sebelum menyerang hati dengan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki ataupun menyerang organ-organ vital.
2.      Mencegah terjadinya reinfeksi.
3.      Meningkatkan daya tahan tubuh misalkan dengan pemberian makanan dengan gizi tinggi.
4.      Dapat diberikan pengobatan dengan tartar emetik serta pengobatan ulang pada kekambuhan ringan. Karena tartar emetik bersifat hepatotoksik, selama pengobatan dianjurkan untuk dilakukan tes fungsi hati. Pemberian tartar emetik (kalium antimonium tartrat) dengan suntikan intravena serta dalam waktu lama merupakan obat efektif dan obat pilihan pada pengobatan penyakit ini.

Praziquantel merupakan obat schistosomiasis yang baru dari komponen pyrazinoquinoline, diberikan per-oral dalam sehari pemberian, ternyata cukup efekif dengan toleransi yang relatif baik diberikan per-oral  dalam 3 dosis, masing-masing 20 mg/kgBB dengan waktu antara 4 jam, menghasilkan angka penyembuhan 80%. Efek sampingan terdapat pada 50-60% penderita yang diberi pengobatan dengan dosis ini, tetapi efeknya ringan serta sementara, tidak enak perut, sakit kepala, sakit punggung, demam , berkeringat dan pening. Kemoterapi  lainnya, yaitu oxamniquine dan metrifonate, memiliki efektifitas tinggi, berturut-turut terhadap schistosomiasis mansoni dan schistosomiasis haematobia sedangkan untuk schistosomiasis japonica tidak efektif, sedangkan niridazole dapat mengurangi jumlah telur tetapi tidak mengurangi infeksi.

Pencegahan dan kontrol
Kontrol pada schistosomiasis japonica dipersulit dengan dipergunakannya secara umum tinja  manusia untuk pupuk pada daerah endemik. Dianjurkan tinja terlebih dahulu disimpan dalam waktu lebih lama dalam penampungan tinja atau dengan penambahan desinfektan dengan garam pupuk seperti ammonium nitrat yang dapat membunuh telur sebelum disebarkan ke ladang. Petani dan pekerja di air kanal, di sungai secara prinsip tertulari, akan tetapi dapat pula manusia pada semua usia terutama anak-anak, tertulari selama mandi atau menyebrang daerah ini, demikian juga pada orang yang menggunakan air yang telah terinfeksi untuk mencuci pakaian. Banjir  membawa siput yang terinfeksi ke hilir dengan melewati perkotaan. Faktor lain adalah hospes perantara siput yang memiliki operculum, bersifat amphibi dan dapat bertahan terhadap pengeringan selama sebulan atau lebih. Siput yang terinfeksi dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam kekeringan dan jika terkena air kembali, akan menjadi aktif dan mengeluarkan serkaria yang infektif.
Strategi pemberantasan schistosomiasis di Indonesia (Adyatma, 1980) sebagai berikut:
1.      Meningkatkan pemberantasan penyakit untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke daerah lain.
2.      Metode intervensi , yaitu metode kombinasi pengobatan penderita, pemberantasan keong, perbaikan sanitasi lingkungan dan agroengineering (mengeringkan daerah rawa-rawa) yang merupakan focus keong.
3.      Mengadakan kerjasama lintas sektoral khususnya untuk agroengineering, kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian untuk menunjang pemberantasan. Pemberantasan Schistosomiasis di Sulawesi Tengah telah dilakukan sejak 1988 secara terpadu yang melibatkan semua instansi terkait yaitu Departemen PU, Pertanian, Kehutanan, Dalam Negeri, Transmigrasi, Kesehatan Tingkat 1 Sul-Teng serta Tim Penggerak PKK. Hasil yang dicapai dari pemberantasan secara terpadu ini adalah turunnya prevalensi penderita Schistosomiasis menjadi 1,5% di dataran tinggi Napu dan 2,5% di Danau Lindu (1993).
  
b)       Schistosomiasis mansoni

Etiologi
Schistosoma mansoni (Sambon,1907)

Epidemiologi
Penyakit oleh S. mansoni dinamakan schistosomiasis mansoni, Manson’s intestinal  schistosomiasis atau bilharziasis. Infeksi pada manusia hampir semua berasal dari sumber manusia yang lain, walaupum kera dan baboon pada daerah endemik kadang-kadang ditemukan terinfeksi. Cacing ini terutama tersebar di Afrika dan Brazil serta daerah lainya yaitu Mesir, Puerto Rico dan Venezuela.

Habitat dan hospes
Habitat pada vena mesentrica inferior yang mengalirkan darah dari usus besar dan segmen posterior ileum. Telur ditimbun pada venule di submukosa usus, sebagai hospes definitif, disamping pada manusia  juga pada kera dan rodensia. Sedangkan sebagai hospes perantara siput air tawar genus Biomphalaria, Australorbis, Tropicobis, terutama  Biomphalaria glabrata dan Biomphalaria alexandrina.

Morfologi
Morfologi cacing jantan panjangnya 6,4-12 mm, tuberkulasi jelas, duri kasar, testis 6-9 buah, pinggir lateral saling mengunci oleh duri acuminate, pada tempat ini lebih panjang dari tepat lain. Cacing betina panjangnya 7,2-17 mm, letak ovarium di anterior pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria memenuhi pinggiran lateral dan pertengahan tubuh, uterus pendek diisi beberapa butir telur (1-4 butir).
Telur : Berukuran 114-175 x 45-68 µm, berwarna coklat kekuningan, transparan, dekat salah satu kutubnya terdapat duri lateral yang spesifik. Telur menghasilkan enzim untuk memudahkan keluar melewati jaringan masuk ke dalam lumen usus. Telur sudah matang, akan segera pecah setelah kontak dengan air karena sifatnya yang menyerap air.

Siklus hidup
Siklus hidup S mansoni, pada kondisi yang menguntungkan, waktu minimum yang dibutuhkan ± 4 minggu. Serkaria memiliki beberapa pasang kelenjar penetrasi pada bagian kepalanya, menembus kulit hospes pada lipatan, lubang rambut atau dibawah selaput tanduk. Perjalanan selanjutnya sama dengan S. japonicum.

Gejala klinik
Granuloma oleh S. japonicum lebih besar, lebih eksudatif, lebih destruktif serta meninggalkan sisa jaringan parut yang lebih besar. Organ yang lebih serius diserang kolon dan rectum, akan tetapi pada hati juga akan terjadi proses patologis terutama fibriosis hati. Sama seperti S. japonicum, S.mansoni juga menunjukkan tiga stadium :
1)      Periode inkubasi
2)      Periode deposisi dan ekstrusi telur
3)      Periode proliferasi jaringan dan perbaikan.

Ekstrusi telur yang pertama terjadi pada 5-7 minggu setelah infeksi, diikuti disentri schistosomiasis yang klasik dengan lendir dan darah pada tinjanya. Hati dan limpa juga sangat membesar dengan perabaan lunak, mula-mula disebabkan oleh infiltrasi telur. Telur mungkin masuk ke jaringan paru-paru, pankreas, limpa, ginjal, adrenal, miokardium atau kadang-kadang sumsum tulang belakang dan memulai proses patologi dari organ-organ ini  dengan gejala-gejala yang sesuai. Pada sekitar 0,1% penderita, telur dengan duri lateral sampai pada vesica urinaria yang akan  dikeluarkan bersama urine. Komplikasi pulmoner pada schistosomiasis mansoni termasuk tipe bronchopulmoner menyerupai  TBC lanjut, dengan enarteritis pembuluh darah pulmoner  serta  bentuk cardiopulmoner yang berakhir dengan lemah jantung kongestif.

Diagnosis
Selama fase prodromal sampai akhir periode prepaten, diagnosis dapat dilakukan dengan tes serologis. Segera setelah ekstrusi telur dimulai, diagnosis dengan menemukan telur dalam tinja dengan metode konsentrasi jika telur tidak ditemukan pada sediaan langsung atau pada “Kato thick fecal film”. Dilakukan dengan sedimentasi pada 0,5% gliserin  dalam air atau dengan metode konsentrasi lain. Penderita dengan disertai komplikasi pulmoner yang disebabkan oleh schistosomiasis, maka diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, visualisasi dari lesi pada sinar rontgen dan pada waktunya menemukan telur dalam sputum. Jika telur pada pemeriksaan tidak dapat ditemukan, dilakukan pemeriksaan serologis. Untuk survey di masyarakat, dapat digunakan metode Kato dengan hasil yang cukup baik.

Pengobatan
Tartar emetik seperti pada S japonicum cukup efektif, hanya sulit dalam pemberian dan toleransinya rendah sehingga bukan merupakan obat pilihan. Obat-obat lainnya yaitu Stibofen (Fuadin), pemberian intramuscular dalam larutan 6,3% 40-75 ml yang diberikan dalam 10-16 kali pemberian. Niridazole (CIBA 32.644 Ba atau Ambilhar) efektif mengobati Schistosomiasis mansoni dengan dosis perhari 25 mg/kg BB, diberikan dalam waktu 5-10 hari. Obat lainnya yang cukup baik adalah nitroquinoline, Oxamniquine,yang diberikan per-oral. Dosis optimim belum dapat ditentukan, disarankan dosis 15 mg/kgBB dalam dosis tunggal. Niridazole lebih efektif pada anak-anak daripada Oxamniquine yang efektif pada orang dewasa. Pengobatan  dengan Praziquantel aman dan efektif pada dosis tunggal 40 mg/kgBB. Oltripaz merupakan obat baru yang dilaporkan juga efektif untuk Schistosomiasis mansoni.

Pencegahan
Pencegahan sama dengan S japonicum, pada prinsipnya penggunaan Moluscisida pada beberapa keadaan dapat efektif mengurangi atau secara lengkap memutuskan transmisi parasit, akan tetapi membutuhkan waktu lama. Program kesehatan masyarakat dengan menyediakan tempat mandi umum, mencuci pakaian serta system pembuangan yang sehat memberikan pencegahan yang baik terhadap penyakit ini.

c)        Schistosomiasis  haematobium

Etiologi
Schistosoma haematobium (Bilharz, 1852 dan Weiland, 1858)

Epidemiologi
Merupakan trematoda darah yang dapat menyebabkan Schistosomiasis vesikalis (penyakit parasit pada organ genitourinari), schistosomiasis haematobia, vesical atau urinary bilharziasis, Schistosomal hematuria. Schistosomiasis haematobium  sering  terjadi di hulu sngai Nil. Sebagian besar Afrika termasuk kepulauan  di Pantai Timur Afrika, ujung Selatan Eropa, Asia barat dan India.

Habitat dan hospes
S. haematobium dewasa hidupnya terutama  di flexus vena vesikalis dan pelvic, mungkin pada aliran darah porta, vena mesentrica inferior, vena pudendalis, vena haemorroidalis, jarang pada venula lainnya. Hospes definitif selain manusia juga kera (Cercocebus torquatus atys), baboon (Papio doguera dan Papio rhodesiae), Chimpanzee (Pan satirus). Hospes perantara siput air dari genus Bulinus dan Planorbarius.

Morfologi dan siklus hidup
Cacing jantan gemuk, berukuran 10-15 x 0,8-1 mm, ditutupi integument tuberkulasi kecil, memiliki dua batil isap berotot, yang ventral lebih besar. Di belakang batil isap ventral, melipat ke arah ventral sampai ekstremitas kaudal, membentuk kanalis ginekoporik. Persis di balakang batil isap ventral terdapat 4-5 buah testis besar. Porus genitalis tepat dibawah batil isap ventral.
Cacing betina panjang silindris, ukuran 20 x 0,25 mm, batil isap kecil, ovarium terletak posterior dari permukaan tubuh. Uterus panjang sekitar 20-30  telur berkembang pada satu saat dalam uterus. Oviposisi biasa terjadi dalam venule kecil pada vesica urinaria dan pelvicus seperti venule rectalis. Tempat-tempat ektopik ditemukan pada kelenjar prostat dan jaringan subkutan lipat paha dan scrotum, jaringan kulit sekitar umbilicus, conjunctiva dan kelenjar lakrimalis. Telur dapat menembus dinding pembuluh darah menembus mukosa sampai ke lumen bersama darah yang keluar dari luka, keluar bersama urine terutama pada akhir miksi atau pada tinja disentri.

Morfologi telur Schistosoma haematobium
Berwarna coklat kekuningan, memiliki duri terminal, transparan, berukuran 112-170 x 40-70 µm. pada siput yang sesuai dalam 4-8 minggu terbentuk sporokista generasi pertama  dan kedua, akhirnya akan menjadi serkaria yang setiap hari akan lolos dari tubuh siput secara berkelompok selama beberapa minggu atau bulan, setelah meninggalkan siput serkaria berenang aktif mencari hospes. Serkaria kontak dengan kulit, air menguap, menembus kulit, ekornya dilepaskan.
Keadaan hidup bebas ini tidak lebih dari 3 hari  (biasanya 24 jam atau kurang), selama dapat bertahan tidak makan. Kemudian menembus ke bawah permukaan epidermis dengan lincah dalam waktu kurang dari 30 menit. Biasanya dalam 1-2 hari, larva telah sampai venule perifer, terbawa ke jantung kanan, masuk ke dalam pembuluh darah pulmoner. Menjelang dewasa memerlukan waktu 20 hari sejak penetrasi ke dalam kulit. Mereka masuk ke dalam vena mesentrica inferior, tinggal dan matang dalam vena rektalis, akan tetapi biasanya bermigrasi  melalui vena haemorroidalis dan vena pudendalis menuju vena vesicalis dan plexus pelvicus, mereka sampai dalam waktu 3 bulan setelah menembus kulit. Periode prepaten biasanya memerlukan waktu 10-12 minggu.

Gejala klinik
Setelah kontak dengan kulit manusia, serkaria masuk  ke dalam pembuluh darah kulit. Lebih kurang 5 hari setelah infeksi, cacing muda mulai menjangkau vena porta dan hati. Kira-kira tiga minggu setelah infeksi, pematangan cacing dimulai sejak keluar dari vena porta. Setelah 10-12 minggu cacing betina mulai meletakkan telur pada venule.
Pada schistosomiasis vesicalis, primer kerusakan jaringan pada dinding vesica urinaria, sekunder pada bagian distal ureter, organ urinarius dan genital yang berdekatan atau rectum dan akhirnya pada paru-paru dan organ yang lebih jauh. Bila jumlah telur lebih banyak maka akan diinfiltrasi dan ditahan dalam jaringan, menjadi pusat pembentukkan pseudoabses. Abses dekat lumen vesica urinaria atau organ lain, mungkin pecah dan mengeluarkan telurnya , berlanjut dengan pembentukkan jaringan fibrosis berakhir dengan pembentukkan pseudotuberkel yang akhirnya akan terjadi fibrosis seluruh organ.
Efek S.haematobium terdiri atas:
1.      Reaksi lokal dan umum terhadap metabolit cacing yang sedang tumbuh dan matang,
2.      Trauma dengan perdarahan akibat telur keluar dari venule,
3.      Pembentukkan pseudoabses dan psudotuberkel mengelilingi telur terbatas pada jaringan perivaskular
4.      Obstruktif uropati. Aspek klinik infeksi terbagi menjadi tiga periode : masa inkubasi,  deposisi dan ekstruksi telur, proliferasi jaringan dan perbaikan.

Deposisi dan ekstrusi telur, inflamasi dan  pembentukkan pseudotuberkel pada sekeliling telur diikuti:
(1)   Hyperplasia dan fibrosis umum dinding vesica dan ureter bagian bawah
(2)   Infeksi sekunder. Gejalanya berupa sistitis kronis. Pemeriksaan sitoskopis menjadi lebih sulit. Lesi yang terjadi pada laki-laki dapat sampai penis dan elephantiasis organ akibat penyumbatan limphaticus scrotalis. Lesi pada wanita biasanya kurang berat meskipun cervix, vagina dan vulva mungkin dikenai.

Diagnosis
Diagnosis spesifik hanya dapat dibuat :
1.      Setelah telur dilepaskan ke dalam lumen vesica urinaria dan muncul dalam urine.
2.      Setelah telur dilepaskan ke dalam lumen usus dan ditemukan bersama tinja.
3.      Dari bahan aspirasi atau biopsi yang diperoleh melalui cytoscope atau proctoscope dan diperiksa secara mikroskopik terhadap adanya telur. Immunodiagnosis umumnya hanya merupakan group specific sering dilakukan pada kasus dengan gejala-gejala selama prepaten yang terlambat.
Telur S. haematobium biasanya terdapat dalam urine, meskipun pada infeksi berat dapat ditemukan pada faeces. Bahan pemeriksaan urine hematuri dapat terdiri dari banyak telur terperangkap dalam lendir dan nanah. Puncak eksresi telur terjadi antara siang dan jam tiga sore. Specimen yang dikumpulkan pada waktu tersebut atau urine 24 jam tanpa pengawet,dapat digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis setelah disentrifuge atau sedimentasi. Yang harus diperhatikan  dalam diagnosis Schistosoma haematobium : Telur tidak terdapat dalam urine sampai cacing dewasa ( memerlukan waktu 5 sampai 13 minggu setelah awal infeksi).
Pada infeksi ringan atau kronis telur akan sulit didapat dalam urine, sehingga dibutuhkan pemeriksaan berulang-ulang atau pemeriksaan serologis akan sangat membantu. Kadangkala terdapat juga dalam faeces sehingga perlu dilakukan pemeriksaan urine dan faeces. Teknik membrane filtrasi menggunakan saringan nukleopore akan sangat membantu dalam penegakkan diagnosa. Pasien yang telah menjalani pengobatan harus di follow-up dan pemeriksaan terus dilakukan sampai 1 tahun untuk mengevaluasi pengobatan. Pada infeksi aktif, telur dapat mengandung miracidia.

Pengobatan
Obat merrifonate (Bilarcil), organoposfor cholinesterase inhibitor, tidak efektif terhadap S japonicum dan S mansoni tetapi unggul dalam pengobatan terhadap Schistosomiasis vesikalis karena murah, manjur dan mudah diterima oleh penderita. Dengan dosis 5-15 mg/kgBB diberikan dengan interval 2 minggu untuk 3 dosis membutuhkan waktu 4 minggu. Oxamniquine tidak efektif untuk schistosomiasis vesikalis.

Pencegahan
Mengurangi  sumber infeksi dari cacing ini dilakukan dengan pengobatan penderita, terutama pengobatan massal di daerah endemik. Dapat dilakukan pencegahan dengan tiga program, yaitu:
1.      Eradikasi tuan rumah molusca, paling sedikit untuk satu siklus transmisi, dengan penanganan air dan kampanye moluscasida pada daerah endemic.
2.      Perbaikan sanitasi lingkungan untuk mengurangi kepadatan habitat siput dimana  telur  schistosoma dikeluarkan pada urine dan faeces manusia yang merupakan sumber infeksi untuk siput.
3.      Pengobatan secara efektif pada penderita terutama carrier untuk mengurangi kontaminasi pada air.



Daftar Pustaka

ü Natadisastra Djaenudin, Ridad Agoes, Parasitologi Kedokteran, Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang,  Cetakan 1, EGC, 2009
ü Winn Washington, Stephen Allen, Willian Janda, Elmer Koneman, Gary Procop, Paul Schreckenberger, Gall Woods, Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology, Sixth edition, Lippincott Williams & Wilkins, 2006
ü Schistosoma, tersedia dari:
Diunduh 8 mei 2010
ü Siklus hidup Schistosoma spp, tersedia  dari:
Diunduh 8 mei 2010
ü Telur Schistosoma spp, tersedia dari:
Diunduh 8 mei 2010
ü Trematoda hati dan paru-paru, tersedia dari:
Diunduh 8 mei 2010
ü Miracidium dan serkaria, tersedia dari:
Diunduh 8 mei 2010